BOLEH - KAH ZAKAT DIBERIKAN DALAM BENTUK MODAL KERJA UNTUK MENGENTASKAN KEMISKINAN ? Bagian ke

KOLOM  HIKMAH

KHAIRA  UMMAH

 

Kajian Islam

BOLEH - KAH  ZAKAT

DIBERIKAN DALAM BENTUK MODAL KERJA

UNTUK  MENGENTASKAN KEMISKINAN   ?

 

Artikel ke 2 dari  4  Artikel.

Oleh : Moch. Tohir

 

Mengembangkan konsep jihad kontemporer.

Oleh : Sumanto al Qurtuby

 

Kehadiran Nabi Muhammad dengan missi Islam-nya adalah untuk membebaskan manusia. 

Meminjam istilah Al-Qur'an, dari "kegelapan” (zulumat) menuju "cahaya” (nur), yakni dari sistem sosial-politik-ekonomi yang diskriminatif dan menindas menuju sebuah sistem yang berkeadilan sosial.

Sejauh yang saya pahami, Islam sendiri tidak mengatur atau merekomendasikan sebuah sistem ekonomi tertentu.

Tidak ada "juklak” atau "juknis” tentang sistem ekonomi.

Islam hanya memuat tentang nilai (values) bukan mengajarkan sistem.

Karena itu kita lihat negara-negara yang didominasi umat Islam memiliki sistem ekonomi yang beragam.

Nilai-nilai yang ditekankan Islam, antara lain, adalah keadilan, egalitarianisme, pemerataan, dlsb.

Ini misalnya tersirat dalam Al-Qur'an surat Al-Hasyr ayat tujuh dimana Allah SWT melarang terjadinya akumulasi kapital atau perputaran modal pada segelintir orang saja (konglomerat atau borjuis).

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

مَاۤ اَفَآءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَا لْيَتٰمٰى وَا لْمَسٰكِيْنِ وَا بْنِ السَّبِيْلِ ۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَ غْنِيَآءِ مِنْكُمْ ۗ وَمَاۤ اٰتٰٮكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰٮكُمْ عَنْهُ فَا نْتَهُوْا ۚ وَا تَّقُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَا بِ ۘ 

"Harta rampasan fai' yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah.

Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.

Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya."

(QS. Al-Hasyr 59: Ayat 7)

 

Kiai Masdar F. Mas'udi, cendekiawan NU, pernah mengulas masalah komitmen Islam pada nilai-nilai keadilan universal dan egalitarianisme ini yang menjadi "spirit” model perekonomian yang "Islami” dan "Qur'ani” dengan sangat apik dan bernas dalam buku klasiknya, Agama Keadilan.

Saya merekomendasikan buku ini untuk dijadikan sebagai "landasan teoretik” bagi siapa saja yang ingin melihat perspektif Islam tentang ekonomi, pembangunan, dan sistem-sistem sosial yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. 

Kita tahu di antara missi Nabi Muhammad SAW yang merupakan pewaris "Dinasti” Suku Quraisy yang didirikan Qushayi bin Kilab pada tahun 480 M, adalah untuk menyelamatkan rakyat kecil yang tertindas oleh gempuran sistem sosial-politik-ekonomi Arab yang diskriminatif kala itu.

Pada zaman itu, sumber-sumber ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir kapitalis yang mempunyai modal (capital), sementara rakyat banyak tetap hidup dalam penderitaan.

Di tengah kultur Arab yang arogan dan penuh dengan ketidakadilan sosial, penindasan terhadap kaum lemah, pengekangan terhadap aspirasi masyarakat banyak, diskriminasi suku dan gender, pemupukan kapital, pemusatan kekuasaan dan lain-lain yang semuanya mengarah pada struktur sosio-ekonomi bangsa Arab yang menindas kala itu, Nabi Muhammad hadir dengan sejumlah gagasan cemerlang, egaliter, dan reformatif.

Kehadiran Nabi Muhammad dengan missi Islam-nya adalah untuk membebaskan manusia. 

Meminjam istilah Al-Qur'an, dari "kegelapan” (zulumat) menuju "cahaya” (nur), yakni dari sistem sosial-politik-ekonomi yang diskriminatif dan menindas menuju sebuah sistem yang berkeadilan sosial.

Inilah, antara lain, yang menjadi missi Islam sebagaimana tersirat dalam QS al-A'raf: 157 dan QS al-Hasyr: 7.

Karena itulah jika ada kelompok umat Islam di dunia modern ini hendak membangun "sistem kelas” yang hierarkhis atau sistem ekonomi yang tidak adil, maka berlawanan dengan roh atau spirit ajaran Islam ini. 

 

Mengembangkan konsep jihad kontemporer

Jika kaum Muslim mau mengembangkan konsep jihad, seharusnya mereka bergerak dalam bingkai seperti yang saya jelaskan di bagian awal tulisan ini. 

Dengan kata lain, jihad dalam konteks kontemporer harus dipahami secara lebih luas, konstruktif, dan kontekstual untuk mengatasi problem-problem mendasar umat Islam dewasa ini mulai dari kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan seterusnya.

Apa yang dilakukan oleh peraih nobel perdamaian tahun 2006, Muhammad Yunus dari Bangladesh, yang telah membantu mengatasi masalah kemiskinan dan problem ekonomi jutaan rakyat Bangladesh dan negara-negara lain melalui Grameen Bank-nya adalah salah satu bentuk jihad yang perlu diteladani oleh tokoh dan kaum Muslim lain.

Tokoh Muslim yang dijuluki "Banker to the Poor” ini percaya, bahwa pengentaskan kemiskinan adalah salah satu cara efektif untuk menciptakan perdamaian di muka bumi.

Demikian juga apa yang dilakukan oleh Abdul Sattar Edhi melalui "Edhi Foundation” di Pakistan. Yayasannya membantu mengentaskan masalah kemiskinan dan problem keumatan lain baik di Pakistan maupun di negara-negara lain.

 

Ini adalah contoh lain dari implementasi jihad yang positif dan membangun. 

Umat Islam Indonesia seharusnya mencontoh tokoh-tokoh seperti mereka. 

Bukan tokoh-tokoh Muslim yang hobi mengibarkan perang dan permusuhan kepada umat atau kelompok yang berbeda pandangan politik dan keagamaan. 

 

Sudah semestinya para tokoh, pemerintah, partai atau ormas berbasis Muslim khususnya, untuk berkerja sama dan bahu-membahu memperjuangkan perbaikan kondisi umat Islam khususnya dan rakyat Indonesia pada umumya.

Untuk bersama-sama mengentaskan mereka yang masih tertinggal dan terbelakang di bidang ekonomi maupun pendidikan. 

 

Jangan sebaliknya, malah berkelahi sendiri-sendiri dengan mengatasnamakan kaum Muslim tertentu, ideologi tertentu, mazhab tertentu, kelompok Islam tertentu, dlsb.

Semangat "aliranisasi” harus diminimalisir untuk kemudian fokus pada kepentingan dan kebutuhan rakyat secara luas.

Ingat bahwa kesejahteraan rakyat akan berdampak positif dan menjadi salah satu "ingredient” (ramuan, rempah) bagi perdamaian, keamanan, dan stabilitas sosial di masyarakat, bangsa dan negara.

Sumanto al Qurtuby.

Dosen Antropologi Budaya dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University serta telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016). 

 

 

Sumber :

Islam dan Pengentasan Kemiskinan - ‎ https://www.dw.com › 

14.12.2016.

Bersambung.